Saturday, December 7, 2013

Coro (2)

Percobaan pertama, saya pegang kakinya. Itu pertama kalinya saya teriak kecil karena kecoak. Biasanya saya anteng aja sama kecoak. Tapi disuruh pegang? Hmmm sensasinya sangat menegangkan. Agak agak kasar gitu kakinya, tapi wangi banget. Eh, itu sih karena parfum eke.

Percobaan kedua, saya coba angkat kecoaknya. Dicengkiwing. Dan anda tahuu? Ternyata kecoak itu cukup berat ya!! Padahal kakinya kecil, tapi badannya lumayan beraat.

Rasanya aneh saat si kecoak sudah berada dalam genggaman. Kemudian saya lempar lagi ke lantai. Saya baru inget saya belum buka pintu, nanti kalo saya berkutat di pintu kosan dan si kecoa bangun di tangan saya, lah piye?

Oke, sekarang pintu sudah terbuka lebar, menyambut jenazah kecoak di tangan saya. Satu, dua, tiga, KABUR. Beneran lari terbirit birit dari kamar ke tempat sampah raksasa di depan gerbang kosan. Udah ga peduli itu semua satpam pada bengong ngeliat salah satu anak kosnya yang imut imut dan anggun ini ternyata bisa lari dengan kecepatan maling sandal.

Tapiiii, kecoaknya sudah hilaaaaang! *goyang gergaji*

Pulang ke kamar kosan, bersiap buat siram air bekas pertempuran di kamar mandi tadi, saya dibuat tercengang. TERRRRRCENGANG.

ADA. SEEKOR. KECOAK. TERBALIK. DI TEMPAT. YANG SAMA. DAN DI POSISI. YANG SAMA. KAYAK. KECOA. YANG BARU SAJA. SAYA. BUANG.

Apakah ini kutukan dari sang hyang kecoaaaaaa?????

Sumpah ini nyata. Kecoaknya segede yang tadi, warnanya juga kayak tadi, bentuk sama fiturnya persis yang tadi, dan posisi sama gaya wafatnya juga sama kayak yang tadiiii!!
Aku merinding.

Tapi ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur.
Mari kita ulangi adegan lari maling tadi.



The End

No comments:

Post a Comment